"Keterbukaan" Pesantren dan Santri

Kata pesantren mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang. Mendengar istilah pesantren, mungkin sedikit banyak akan langsung terbayang akan adanya sebuah lingkungan di mana terdapat kumpulan orang-orang bersarung, berpeci atau berhijab yang kesehariannya diisi dengan aktivitas mengaji, serta adanya sebuah kitab berwarna kuning dan dipenuhi dengan huruf arab gundul yang menjadi bacaan mutlak untuk dikaji. Sebagian lagi menganggap bahwa pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang kuno, cara bergaul mereka dinilai gamang, canggung, wagu, bahkan tidak sedikit yang eskapistik, melarikan diri, menyembunyikan diri, ngumpet di pelosok-pelosok sejarah. Dan jika mau lebih ekstrim lagi ada yang mengatakan pesantren itu kaku, konservatif, bahkan (maaf) tempat bercokolnya gembong teroris.

    Baik, kita kesampingkan dulu pernyataan di atas. Terlepas dari semua itu kita harus meyakini bahwa arti keutuhan dari sebuah pesantren hanyalah pribadi masing-masing yang bisa memaknainya, itu sebuah hak preogratif. Namun, pernahkan kita mencoba sedikit saja berpikir, mengapa ada begitu banyak pendapat yang tidak searah bahkan irasional sekali dengan kenyataan pribadi pesantren? Mari kita berpikir lebih dalam lagi. Sedangkan jika melihat pada hakikatnya, dunia pesantren sendiri merupakan sebuah lembaga dan komoditi yang diakui secara sosiologis -di Indonesia ini- paling mewakili keagamaan, baik menurut bias lama maupun kontemporer. Itu kemutlakan. Bukankah hal itu menggelikan?

Pesantren dengan segala corak pengajaran, kurikulum, bahkan gaya akomodir yang khas salafi memiliki keunikan dan ke-kontinuitas yang komprehensif, meyeluruh, dan paten, jarang sekali ada yang bisa menyamai aturan pola mainnya. Pesantren memiliki ideologi yang kental dan sakral, namun sama sekali tidak menunjukkan kekakuannya, bahkan cenderung fleksibel, terlebih lagi nyaman. Tentu saja pesantren mampu sekali menyamai lajunya roda zaman tanpa meninggalkan kesalafan, itu sudah terbukti. Berapa banyak lulusan pesantren yang menjadi orang besar dan layak diperhitungkan, itu semua bukan karena apa-apa. Hanya sistem dan kegigihan para pengasuh serta guru yang ada di balik itu semua.

Istilah santri sendiri hanya bisa didengar di lingkungan khusus bernamakan pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren, maka jika pesantren membatasi santrinya dengan sekian peraturan, itu bukan berarti pesantren menerapkan pengekangan kreatifitas, peleburan potensi secara massal atau pemerataan konsep otoriter. yang dimaksudkan itu semua semata-mata hanya untuk proses pembentukan karakter santri yang berpotensi dan berdaya saing tinggi, agar kedepannya seorang santri tidak mudah kalap dengan semakin menukiknya moral atau hilang tak berbekas begitu saja digilas zaman. Namun, kadang-kadang memang peraturan itu dianggap momok oleh sebagian orang yang tidak faham, bahkan –oleh santri sendiri pun- dianggap sebuah alasan untuk segera lari dari keterikatan.

Itu sebuah kelumrahan. Pesantren, kiai dan santri adalah mata rantai yang tidak bisa terputus. Bahkan Zamarkhasyari Dhofier dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren, memberi gambaran adanya lima unsur yang melekat atas diri pesantren, itu adalah: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai. Adapun peraturan hanyalah sistem yang dibuat untuk memudahkan jalannya proses pengajaran.

Kembali pada realitas faktual pesantren dan santri, jika kita mau lebih dalam lagi berpikir kritis, munculnya pesantren tidak lain adalah hasil dari sebuah perenungan, harapan dan kenyataan yang ingin sekali diraih oleh masyarakat yang faham akan kondisi zaman yang semakin kehilangan jati dirinya. Mereka meyakini betul bahwa hanya dari sistem didikan di pesantrenlah yang akan lahir generasi cemerlang dan berbudi. Apa gunanya ilmu yang sedemikian tinggi tanpa dibarengi akhlaq yang luhur karimah. Seperti halnya mematahkan mitos bahwa Intellegence Quotient (IQ) adalah segalanya. Padahal semua itu tidak akan terselamatkan tanpa dinaungi Kecerdasan Emosional (baca: moral).

Sedangkan aktifitas rutinan di dalam pesantren seperti halnya berjama’ah, wiridan, muthala’ah, lalaran, bahkan kegiatan mingguan adalah sebuah proses penyamarataan keberagaman suku, kultur bahkan karakter untuk dipukul rata dan dilebur-jadi-satu-kan oleh proses yang sedemikan takdzimnya, dikemas dengan santun dan penuh kekhusyu’an. Itu semua tidak lain hanyalah untuk menunjukkan bahwa diinul Islam dengan konsep rahmatan lil’alaminnya benar-benar dipraktekkan dalam lingkup ruang pesantren. Sebuah ke-Bhinneka-an Tunggal Ika yang begitu dijunjung tinggi dalam proses sebelum kelahiran calon penerus perjuangan, pengentas kejahilan, pembawa bendera Islam yang kehadirannya sungguh sangat dinanti oleh masyarakat.

Artinya, santri yang lahir dari didikan kiai dan guru di pesantren memang dilahirkan dari masyarakat dan untuk masyarakat. Tidak ada ceritanya dalam sejarah ke-pesantrenan bahwa santri diajari untuk memberontak, anarkis dan skeptis. Omong kosong semacam itu hanya lahir dari manusia-manusia “salah jalan”. Nalar yang mereka pakai sungguh berada di ambang batas. Kita harus berhati-hati dan membuka dengan luas cakrawala pemikiran kita bahwa ada begitu banyak sekali kelompok yang mengatasnamakan agama dengan membawa topeng pesantren untuk memuluskan niat buruknya. Di sinilah sekarang letak viral posisi kita sebagai santri untuk membalik semua tuduhan dan mencabut stempel yang tidak beralasan itu semua.

Kiranya kini nilai-nilai luhur dan segenap potensi yang diwarisi pesantren dari zaman keemasan peradaban dan kebudayaan Islam itu, tidak hanya diapresiasikan dalam dataran normatif, melainkan memerlukan inovasi-inovasi tanpa mengabaikan nilai-nilai al-qadiimisshaalih untuk hidup, berkembang dan maju pada dataran historisitas. Sebab (pesan kerahmatan) Islam sendiri bukan hanya milik masa lalu dan untuk masa kini saja, melainkan terutama untuk menjadi pondasi bagi rancang-bangun peradaban masa yang akan mendatang.

Pesantren dan santri perlu “keluar bergaul” dan sebaliknya juga “membuka diri bagi dialog dan kreativitas-inovatif”. Bukan berarti harus dituntut keluar berkiprah dan bersentuhan langsung dengan ke-modernitas-an yang menggila. Tidak, kita hanya perlu membawa diri dalam sistem keterbukaan. Artinya, keterbukaan itu berlaku bagi wawasan pesantren dan mindset santri, bahwa ada begitu banyak problematika zaman yang seiring berkembang dan meresahkan. Pesantren dan santri harus pandai membawa diri dan prihatin akan mau dikemanakan jati diri Islam dan Indonesia-negara kita sendiri ini.

Sudah barang tentu itu semua tidak semudah meniup debu yang menempel di ujung kuku. Perlu kekuatan mental dan kebijakan dalam berpikir yang terus menaungi santri dalam memaknai setiap esensi kultural pesantren. Harapan ke depannya tentu saja semoga pesantren dan santri yang terus dikawal oleh pengasuh, para guru dan berbagai sistem peraturan mampu mewujudkan cita-cita Islam dalam sistem perombakan akhlaq dan moral. Wallahu A’lam.

*Penulis menjabat sebagai pembina Lembaga Pengembangan Qalam-

(LPQ PPP. Langitan)

dan pendiri Aliansi Perempuan Penulis (APPel)

Comments

Popular posts from this blog

Manajemen Hati, perlukah?

Love and Faith

Day 8 | Barang yang Selalu Kubawa