Cerpen#1: Kiai Klepon

Oleh: Ulin Nihayatil Qudsiyah*

    “Kriet.. Kriet..” Suara sepeda pancal membelah hiruk pikuk debu keramaian kota Surabaya, kota pahlawan saksi bisu tempat kemerdekaan dipertaruhkan dan perjuangan melawan koloni hingga titik darah penghabisan. Kini, wajah Surabaya tak ubahnya kota besar metropolitan yang menjulang megah dengan gedung-gedung pencakar langit dan ribuan lalu lalang kendaraan berbagai macam. Pemandangan sepeda pancal di tengah menterengnya Alphard atau sekedar kinclongnya lamborghini memang terlihat ironis, tak ubahnya langit dan bumi yang dipaksa menyatu sehingga pemandangan seperti itu cukup membuat seseorang yang melihatnya terlipat-lipat keningnya.

    Beberapa kali aku sering melihatnya berseliweran di jalan Wonokromo atau stasiun Gubeng setiap harinya, menawarkan jualan sederhananya, klepon. Jajanan kenyal nan enak itu memang cukup dipandang miring oleh penduduk kota yang mind set nya sudah disetel ala-ala orang eropa. Tak berselera jika bau bau namanya bukan dari bahasa asing yang kadang nama dan tampilan luarnya sungguh jauh dari kata nyambung. Misalnya Tofu, bahasa cina yang digunaan untuk artian tahu, makanan berbentuk kotak dan terbuat dari sari-pati kedelai. Yang pelafalannya harus dengan suara merendah pada akhiran huruf “U” nya, sebab kalau tidak artiannya akan berubah. Ah sungguh Keminggris, istilah yang disematkan pada mereka, makhluk lokal yang bergaya sok kaya. Gengsi adalah momok nomer satu yang wajib dimiliki, apapun jalannya asal bisa nggaya dan berleha-leha meski sekedar ngaca di mall tanpa membeli apa-apa.

    Perubahan yang sedemikian riskannya tak mengubah gaya hidup penjual klepon menjadi ikut-ikuttan buta gemerlapnya dunia, dia tetap bersahaja dan bergaul dengan siapapun yang ia jumpa. Tak terkecuali aku, pembeli setianya yang rela menunggu di bawah panasnya terik matahari Surabaya, tepat di depan Halte A. Yani yang menghadap langsung ke arah kampus tempatku berjibaku menuntut ilmu. Gerbang hijaunya memang terlihat congkak menatapku, kalau gak punya duit jangan harap bisa masuk ke sini, kira-kira begitu. Ah, harga bangku kuliah semakin mahal saja. Hanya orang-orang berduit serta orang yang benar-benar nekat yang bisa merasakan bangku kuliah tersebut, dan aku termasuk golongan yang nekat itu.

    Penjual klepon setengah baya itu berkulit sawo matang, perawakannya bersih dan jauh dari kata kumal, andai ia didandani dengan setelan kemeja yang dimasukkan di celana dan diberi dasi mungkin ia lebih mirip Andi Flores Noya, host luar biasa dari program Reality Show andalan Metro TV, besutan Surya Paloh yang bernama “Kick Andy”. Aku terkekeh membayangkannya, penampilan bapak penjual klepon mungkin bisa dikatakan oke, cool dan berwibawa. Namun sekali ia berbicara, siapapun akan terjungkal mendengar lantangnya suara bariton khasnya dan joke-joke segar yang selalu diselipkan dari celoteh-celotehnya bersama pembeli setianya. Joke segar namun kadang membuat telinga agak memerah mendengarnya.

    “Assalamu’alaykum le tole, ngelamunke sopo?” Aku tergagap mendengar bapak penjual klepon itu nyembur tepat di hadapan wajahku. Karuan aku terkekeh dan malu dilihat banyak orang di sekitarku yang mungkin sama kagetnya dengan suara lantang penjual klepon yang lebih mirip panglima TNI.

    “Wa’alaykumussalam. Wah, njenengan ini mengagetkan saya saja pak” Ucapku pada beliau. Njenengan, kata yang diucapkan untuk kata ganti anda, kamu atau yang lainnya. Kata yang lebih sering digunakan oleh kawula muda kepada yang lebih tua, murid kepada gurunya, atau santri kepada kyainya. Ada alasan tersendiri mengapa aku memanggilnya njenengan, rasanya lebih pas karena pada penjual klepon ini, aku belajar sedikit memaknai tentang hidup, belajar hidup menata hati dan belajar sumeleh, legowo atas takdir yang sudah digaris Tuhan untuk setiap hambaNya. Meskipun bernada tinggi, namun isi ucapannya selalu mengingatkanku pada singkatnya hidup di dunia, isinya selalu mengingatkanku agar tak mau kalah dilindas degradasi moral yang semakin lama semakin merosot menukik tajam.

    “Kok makin kurus tak bertenaga gitu, sibuk mengejar rupiah ta?” Beliau berkata sambil memamerkan gigi kinclongnya, gigi yang terawat yang sempat membuatku sangsi bahwa beliau adalah orang berpangkat yang menyamar jadi penjual klepon. Sambil mengeluarkan plastik hijau untuk isi klepon yang  segera diberikannya kepadaku.

    “Bapak bisa saja, jarang sekali njenengan lewat sini pak, sudah menemukan tempat yang lebih banyak pembeli kleponnya ya?” ujarku sedikit membalas, adu mulut dan diskusi kecil memang sering terselip dalam proses jual-beli kita. Tak apalah, dengannya aku bisa mengorek segala info tentang seluk beluk kota Surabaya, termasuk keluh kesahku tempo hari tentang lowongan kerja sambilan yang bisa aku lakukan untuk sekedar ganjal perut atau menabung membeli buku bacaan.

    “Kalau alasannya rupiah tidak akan ada habisnya, baik yang kaya maupun yang miskin. Kasihan dengan rupiah ya, dikejar-kejar terus tiap hari, apa tidak capek?” Seloroh bapak penjual klepon yang membuatku tersenyum. Aku segera mengeluarkan dua lembar uang dua ribuan, harga yang luar biasa murah di kota sebesar Surabaya untuk se-plastik klepon lengkap dengan suwiran kelapa gurihnya. Rasa manis dari gula merah yang keluar ketika klepon digigit dan gurihnya suwiran kelapa menambah nikmatnya klepon yang hangat bila disantap dengan teh panas.

    “Ora usah, dicelengi ae, digawe tuku buku” Ujarnya sambil menyelipkan beberapa lembar uang yang dibungkus plastik kecil ke dalam kepalan tanganku. Aku tergagap meraih kembali tangan renta milik pria setengah baya itu, aku memang terlahir dari rahim orang tak berpunya, tapi pantang bagiku menerima uang secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan tenaga apalagi dari pria renta yang sudah selayak ayah bagiku.

    “Jangan pak, ini hasil dari keringatnya njenengan, saya tidak pantas mendapatkannya, saya tidak mau pak, maafkan saya” Aku memegang erat tangannya, aku tak menyangka beliau akan memberiku uang secara cuma-cuma, padahal kita sama sekali tidak ada hubungan darah bahkan hanya beberapa kali bertatap muka, itupun hanya sekedar transaksi jual beli klepon dan sekedar celoteh ringan tentang makna hidup. Ia hanya terkekeh sambil mendorongku pelan.

    “Sudah, jangan membantah. Ini rejeki untukmu, belajar sing rajin, jangan tekuk mukamu kaya bemo mogok begitu. Semangat, ndang moleh ndang ngulang, khoirunnas anfa’uhum linnas. Tahu artinya toh?” Aku ternganga mendengar penuturannya, nasehatnya yang tulus dan pelafalan bahasa arabnya yang fasih membuatku sedikit mematung. Walau beliau berprofesi hanya sebagai penjual klepon, tak serta merta membuatku salah menilai karakternya, aku semakin yakin beliau bukan orang sembarangan. Sedetik aku tersadar dan kaget mendapati bapak penjual klepon itu berlalu dengan sepeda pancalnya, melambai dengan tanpa menoleh lagi ke belakang. Aku berlari sebisaku, mencoba mengejar di sela himpitan mobil yang melaju di jalanan.

Tak kuhiraukan lengkingan klason yang memekikkan telinga demi ingin mengembalikan uang yang tak tahu harus kuapakan, tiba di belokan aku terpeleset dan terjungkal ke semak dekat selokan, “Innalillahi wa inna ilayhi raji’un” aku meringis kesakitan, sepertinya kakiku sedikit terpelintir sebab terlalu asal berlari di tengah keramaian. Beberapa pengendara motor di dekatku tak sedikitpun menghiraukanku, bahkan hanya untuk sekedar melirik. Aku menyesal tidak bisa mengejar laju sepeda pancal yang dikemudikan bapak penjual klepon, padahal jika aku berlari lebih kencang aku pasti bisa mencegatnya. Aku membuka kepalan tanganku dan aku kaget bukan kepalang melihat beberapa lembaran-lembaran uang seratus ribuan dengan warna merah menyala berada di tanganku yang gemetaran.

Aku mendongak menahan haru yang sudah di pelupuk mata, uang ini tidak hanya cukup untuk sekedar membeli buku bacaan namun juga lebih dari cukup untuk membayar uang semester. Perlahan aku teringat bahwa aku tidak pernah sedikitpun menyinggung tentang kebutuhanku yang ingin membeli buku-buku kuliah pada bapak penjual klepon. Beberapa bulan kemudian aku tak pernah lagi menjumpainya berseliweran di depan halte A. Yani, di Wonokromo atau di Stasiun Gubeng. Aku bertanya kesana kemari kepada siapapun yang berada di dekat daerah sana dengan menceriakan ciri-ciri fisik maupun spesifikasi sepeda pancalnya, demi mencari info tentang keberadaan bapak penjual klepon, tak banyak yang tahu.

Mereka hanya sering menyebutnya dengan panggilan Mbah Yai, asal muasalnya juga tak jelas beritanya, ada yang mengatakan beliau asli Majalengka, ada yang mengatakan asli Solo. Entahlah, aku sedikit menyesal tak pernah menanyakan siapa nama beliau, hingga aku hanya bisa membalasnya dengan mengirim fatihah tiap harinya untuk beliau, bapak penjual klepon.

Lamongan-Kediri

 

*H3 Langitan. Pendiri Aliansi Perempuan Penulis (APPel)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Manajemen Hati, perlukah?

Love and Faith

Day 8 | Barang yang Selalu Kubawa