Berkenalan Dengan Sastra

Oleh: Ulin Nihayatil Qudsiyah*

Jika dunia adalah kata,maka semesta adalah bahasa.

    Sastra dalam perkembangan sejarah dunia selalu memiliki tempat khusus yang selalu menarik untuk terus dikaji dan dikritisi, terlepas dari pandangan relatif besar kecilnya nilai kontribusi sastra dalam membangun otoritas sebuah negara. Asumsi tersebut mungkin muncul dikarenakan pasang surut retorika sastra sendiri, hubungan sastra dalam merekontruksi kepekaan jiwa dan daya kritis dinilai kurang konsisten, tidak ajeg¸dog dog ser, tidak ada kejelasan dan bangun ruang yang paten sehingga muncul sikap eksklusif yang menyatakan “Walau tanpa sastra, Indonesia tetap berlangsung hidup, terus bergerak tiada berubah keadaan”

    Jika anda tahu, sebenarnya negara maju pasti ditandai dengan pesatnya kemajuan sastra dan tingginya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, setiap bangsa pasti memiliki sastra yang menjadi kebanggaannya sebagai satu prestasi peradabannya. Mari kita tengok sejenak bangsa terdahulu yang memiliki peradaban maju, ketika bangsa lainnya masih bergelut dalam ketidak-tahuan. Semua itu disebabkan kemajuan tingkat kesastraan dalam masyarakatnya. Kita lihat bangsa Arab yang melahirkan banyak penyair sekaligus ulama’ yang mampu menuliskan kalimat agung dan indah, seperti halnya sastrawan tanah Farsi; Faridudin al-Attar dengan “Manthiquth-thayr”nya, atau kita saksikan pula bangsa Inggris yang telah melahirkan Shakerspears dengan karya sastranya yang mengguncang.

    Dari sana kita bisa melihat peran sastra terbukti cukup dominan dalam mempengaruhi kehidupan insani. Bahkan, mendiang John F. Kennedy, seorang presiden negara adidaya, yang memimpin bangsa paling rajin berperang, pernah mengatakan: “Jika sebuah perilaku itu kotor, maka puisilah yang membersihkan, jika perilaku politik itu bengkok, maka sastralah yang meluruskan”.

    Dalam hal sastra sendiri, terdapat istilah upaya pemahaman, kemudian berlanjut pada penafsiran dan penguraian, atau dalam bahasa Teew disebut “merebut makna”. Agar strukur karya sastra dan maknanya dapat direbut dengan tepat, barangkali tentu sekali perlu adanya upaya mengenal dan memahami bagian-bagian atau elemen-elemen karya sastra, dan mengurai seluruh seluk beluk struktur sastra.

Bagaimana seharusnya kita mengenal sastra

    Dengan maraknya wacana pluralisme dan bangkitnya kesadaran baru tentang sebuah identitas, muncullah berbagai genre sastra yang memberi ruang ekspresi pada suara-suara yang selama ini ‘terbungkam’ dan ‘terpinggirkan’. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan yang signifikan sastra yang berbasis etnis, sastra agamawi, sastra seksis, sastra kanan, sastra kiri, sastra berbasis gender dan label-lebel sastra lain, serta proyek ‘politik identitas’ lainnya, yang tentu saja membuat sulit memandang sastra sebagai bangun yang steril dari kepentingan-kepentingan di luar sastra.

Faktanya, realitas sejarah sastra kita adalah tarik ulur antara sastra sebagai bangun otonom dengan masyarakat dan kulturnya. Apalagi Teew pernah memberikan pernyataan bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Artinya, sastra selalu memilih hubungan dengan budaya yang melahirkannya, baik itu langsung dan tak langsung.    

Sejak dahulu budaya di Indonesia pada umumnya meletakkan sastra sebagai suara ‘terpinggirkan’, sebuah bangun ruang yang hanya menyuarakan suara-suara sumbang wong cilik, namun seiring dengan pertumbuhan revolusi yang signifikan, sastra dianggap salah satu “jalan” untuk menyuarakan bentuk ‘protes’ atas ketidak adilan dan kesewenang-wenangan sehingga dalam kurun waktu tertentu cukup sering ditemui wacana ‘penyanderaan’ dan filterisasi yang ketat terhadap sastra.

Namun, ketika rezim orde lama berganti dengan orde baru, muncullah sebuah masa bernama kebebasan pers. Masa yang diharapkan terpenuhi oleh suara-suara membangun dan adanya kemajuan yang pesat dalam budaya bersastra. Faktanya, dalam masa itu justru menjadi sebuah batu loncatan di mana adanya sebuah senjata tajam yang siap menghabiskan seluruh kemajuan. Tidak jarang ditemui surat kabar ‘kuning’ yang bebas diperjual-belikan di pinggir jalan. Tidak ada lagi kesungkanan dalam mengkonsumsi bacaan-bacaan tidak bermoral itu bahkan di hadapan publik.

Karakteristik sastra yang baik memang tidak melulu bisa dipatenkan, segala sesuatu di dunia memang memiliki varian prinsip yang selalu menarik untuk ditelaah sehingga rambu-rambu wacana tentang sastra yang baik memang selalu dipandang relatif dan selalu tergantung sudut pandang masing-masing. Tidak heran, jika kegiatan kritik sastra selalu dianggap aktifitas yang ‘sia-sia’.

Padahal jika saja kita mau lebih memperhatikan, ada satu jenis sastra yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari masyarakat dan pengamat sastra, yaitu sastra Islam, karena di dalamnya muncul tema yang manusiawi (humanisme universal). Sastra Islam menjadi bacaan alternatif yang mampu memberi pengajaran bagi masyarakat kita, bahkan sastrawati kita dengan santunnya ikut meramaikan kemajuan kesusastraan Islam Indonesia, sebut saja “Geni Jora” Abidah El Khalieqiy, Bunda Pipiet Senja, Halimah Alaydrus, Intan P., Dina Y. Sulaeman, serta kakak beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, dan masih banyak lagi.

“Karangan yang sulit dipahami menunjukkan kehebatan penulisnya”. Ada kecenderungan dari para pembaca yang menyalahkan dirinya tatkala mereka sulit memahami sebuah teks, dan menganggap sang penulis jagoan. Dan penulis pun merasa bangga tatkala tulisan-tulisannya sulit dipahami oleh pembaca. Inilah satu keangkuhan tanpa alasan, baik pembaca maupun penulis benar-benar di “jalan yang sesat”.

Sastra yang baik seharusnya memliki sikap reader orientedness yang tinggi, atau kepekaan terhadap lebih mengutamakan psikologi pembaca. Bagaimana kita bisa mengemas pesan moral dengan baik, mudah difahami, santun, sehingga mengena pada phsychologycal suspense-ketegangan, atau klimaks yang elok sehingga berujung pada sumasi-penyimpulan yang baik. Pada saat itulah proses pentransferan makna dari penulis kepada pembaca dianggap berhasil. Tentu tidak mudah, sastra memang khas dengan cirinya yang meliuk, menukik dan terkadang abu-abu.

Pengalihan pengamatan kepada sastra Islam menjadi penting karena ini sangat berpengaruh pada kemajuan kesusastraan Indonesia-negeri kita. Guna menjadikan karya sastra sebagai pencerahan dan bukan lagi hanya sekedar mengejar fungsi keduniawian belaka.

Pada akhirnya, hakikat sastra kembali lagi pada asal teori sebuah kebudayaan yang menyatakan sastra adalah tanggapan evaluatif terhadap kehidupan, sebagai kaca cermin yang memantulkan segara pernak-pernik kehidupan sehari-hari. Dengan menelaah sastra kita akan melihat seperti apakah laku kita dalam kehidupan ini.

Demikianlah, perlu kesadaran yang tinggi bagi kita-khususnya penikmat sastra. Bahwa meninggalkan krisis multidimensi moral dalam kehidupan kini memang sebuah keniscayaan. Dengan semangat yang mutakhir kita harus bisa berusaha menjebol dinding angkuh kesusastraan, untuk menjadikan hidup lebih beradab dan berbudi. Hingga pada akhirnya, dengan sastra semua akan menjadi bermakna. Wallahu A’lam.

*Penulis berasal dari Lamongan, menyukai seni dan sastra. Pendiri Aliansi Perempuan Penulis (APPel)

Comments

Popular posts from this blog

Manajemen Hati, perlukah?

Love and Faith

Day 8 | Barang yang Selalu Kubawa